I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ikan merupakan bahan pangan yang mudah mengalami kerusakan (perishable food). Pengolahan dan pengawetan ikan perlu dilakukan untuk mempertahankan mutu dan kesegaran ikan selama mungkin dengan cara menghambat atau menghentikan penyebab kemunduran mutu (pembusukan) maupun penyebab kerusakan ikan misalnya karena aktivitas enzim, mikroorganisme, atau oksidasi.
Lemuru (Sardinella lemuru) adalah ikan pelagis kecil yang bernilai ekonomi sangat tinggi. Produksi lemuru di Indonesia terbilang cukup besar. Pada tahun 1999, produksi lemuru di perairan Indonesia mencapai 161.470 ton meningkat sebesar 169 % sejak produksi pada tahun 1983 (FAO, 2010). Jumlah produksi lemuru cukup tinggi namun sifatnya mudah rusak, sehingga harus diawetkan atau diolah agar dapat dimanfaatkan dan mempunyai nilai ekonomis yang tetap tinggi.
Pengawetan bertujuan untuk memperpanjang masasimpan bahan pangan. Salah satu usaha untuk meningkatkan daya simpan dan daya awet pada produk ikan adalah dengan pengalengan (Winarno, 1980). Tujuan utamanya adalah untuk memperpanjang umur simpan dan meningkatkan nilai ekonomis dari ikan serta dapat memperbanyak keanekaragaman pangan yang berbahan baku ikan. Pengalengan merupakan pengawetan pangan menggunakan kemasan yang tertutup secara hermetis dan memanaskannya untuk membunuh mikroorganisme patogen dan penyebab kebusukan beserta sporanya, serta untuk menginaktivasi enzim yang dapat merusak mutu. Pengalengan dapat mempertahankan daya simpan produk sampai lebih dari enam bulan (Kusnandar et al., 2006).
Hazard Analysis Critical Control Point(HACCP) merupakan salah satu bentuk manajemen resiko yang dikembangkan untuk menjamin keamanan pangan dengan pendekatan pencegahan (preventive) yang dianggap dapat memberikan jaminan dalam menghasilkan makanan yang aman bagi konsumen (Husni & Putra, 2014). Proses pengalengan makanan memiliki potensi bahaya mulai dari penerimaan bahan baku, proses, hingga produk akhir. Salah satu bahaya pada
makanan kaleng adalah adanya bakteri Clostridium botulinum yang merupakan salah satu jenis bakteri patogen. C. botulinum mengeluarkan racun botulinyang dapat mematikan manusia (Muchtadi, 1995). Adanya potensi bahaya dalam proses pengalengan menuntut industri pengalengan menerapkan sistem pengendalian mutu untuk mencegah terjadinya bahaya sehingga dapat dipakai sebagai jaminan mutu produk pangan.
PT. Blambangan FoodPackers Indonesia (BFPI) Banyuwangi merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pengalengan lemuru. Perusahaan tersebut telah lamaberoperasi sejak tahun 1972 dalam menghasilkan ikan lemuru kaleng dan ikan tuna kaleng dalam berbagai macam medium atau rasa dengan berbagai macam brand yang dipasarkan hampir ke seluruh Indonesia. Selain itu, PT. BFPI juga memiliki beberapa sertifikat kelayakan industri pengolahan diantaranya Sertifikat pelaksanaan Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), Sertifikat Halal dari Majelis Ulama Indonesia, Sertifikat Pengolahan Perikanan, Sertifikat Kompetensi Pengolahan Sarden, dan Sertifikat kompetensi Pengolahan Tuna dari Departemen Kelautan dan Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan, Jakarta. Melalui praktek kerja lapangan yang dilakukan di PT. BFPI yang telah lama bergerak dalam penerapan sistem pengendalian mutu, diharapkan mahasiswa dapat mengetahui proses yang baik dalam menghasilkan produk yang aman bagi konsumen.
A. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan Kerja Lapangan di PT. Blambangan FoodPackers Indonesia adalah:
1. Mengetahui, mempelajari, dan memahami penerapan Hazard Analyisis Critical Control Point (HACCP) dalam proses pengalengan lemuru di PT. BFPI.
2. Mengetahui masalah yang timbul dalam proses pengalengan lemuru terjadi serta penyelesiannya.
B. Manfaat
Melalui kerja lapangan diharapkan meningkatkan pengetahuan tentang proses pengalengan ikan serta menambah keterampilan dan pengalaman kerja. Selain itu, untuk mengetahui penerapan HACCP dalam menjamin keamanan produk bagi konsumen.
C. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Pelaksanaan Kerja Lapangan berlangsung pada tanggal 12 Januari sampai 10 Februari 2015 di PT. Blambangan FoodPackers Indonesia yang beralamatkan di Jalan Sampangan No. 1, Desa Kedungrejo, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur.
II. KEADAAN UMUM PT. BLAMBANGAN FOODPACKERS INDONESIA
A. Sejarah Umum
PT. Blambangan FoodPackers Indonesia (PT. BFPI) merupakan pabrik pengalengan lemuru yang terletak di Banyuwangi.Pabrik pengalengan yang bernama PT. Nafo berdiri pada tahun 1967 di Jalan Bawean No. 7 Banyuwangi yang merupakan induk perusahaan PT. BFPI. PT Nafo berkembang pesat seiring dengan permintaan pasar yang terus meningkat. Pada tahun 1969, PT. Nafo membuka cabang di daerah Sampangan, Muncar.
Semakin berkembangnya usaha di bidang makanan kaleng membuat PT. Nafo memperluas lokasi pabrik. Pada tanggal 22 januari 1972 berdirilah pabrik baru yang lokasinya berjarak 200 meter dari PT. Nafo cabang Muncar yang bernama PT. Blambangan Raya. Setelah berdirinya PT. Blambangan Raya, semua kegiatan dan perangkat produksi dari PT. Nafo dipindahkan ke pabrik baru ini dengan bidang usaha yang masih sama yaitu pengalengan lemuru. Dalam menjalankan usahanya PT. Blambangan Raya didukung oleh beberapa sertifikat pengolahan dan sertifikat Halal dari Majelis Ulama Indonesia untuk jenis produk makanan dalam kaleng.
PT. Blambangan Raya melakukan usaha diversifikasi makanan kaleng diantaranya berupa bekicot, rebung, dan tuna dalam kaleng. Namun di pasaran hanya produk tuna yang potensial untuk dikembangakan karena permintaan yang relatif tinggi. Oleh karena itu, sejak Desember 1988, PT. Mantrust yang merupakan induk dari perusahaan PT. Blambangan Raya melakukan kerja sama dengan perusahaan tuna di Amerika yaitu Fan Camp Sea Food dengan merek produk Chiken of The Sea dengan sebagian besar (98%) produksi tuna PT. Blambangan Raya diarahkan untuk pasar Amerika.
Pengalengan lemuru dihentikan sejak PT. Blambangan Raya memproduksi tuna secara intensif. Bahan baku diperoleh dari perairan lokal maupaun internasional. Pengalengan tuna berlangsung selama 6 tahun terhitung sejak Desember 1986 hingga April 1993, dikarenakan masa kontrak dengan Fan Camp Sea Food telah habis. Pada tanggal 20 April 1993 PT. Blambangan Raya berhenti memproduksi tuna dan kembali memproduksi lemuru.
PT. Blambangan Raya sempat berhenti berproduksi selama 1 tahun sejak tanggal 23 April 1993, kemudian bangkit kembali dengan memproduksi lemuru. Hal ini terus berlangsung hingga sekarang. Pada Juli 2005 PT. Blambangan Raya berganti nama menjadi PT. Blambangan FoodPackers Indonesia (PT. BFPI) yang memproduksi lemuru dan mackarel yang meliputi sarden in tomatosauce, sarden in tomatowith chili, mackerel in tomato sauce danmackerel in tomato with chili. Selain itu, PT. BFPI juga telah memproduksi tuna kaleng meliputi tuna in oil dan sambel goreng tuna. Merek sarden dan makarel yang dibuat diantaranya ABC dan CIP untuk kualitas satu dan KIKU, BANDUNG dan SAMPIT kualitas dua. Tepung ikan untuk pakan ternak dan minyak ikan juga diproduksi karena merupakan limbah yang menguntungkan.
PT. BFPI juga bekerja sama dengan PT. Heinz yang memproduksi lemuru dan makarel dalam kalengdengan merek ABC. Kerja sama ini dinamakan maklon. Maklon adalah sebuah istilah yang digunakan oleh masyarakat industri di Banyuwangi yang berarti menyediakan jasa untuk menghasilkan produk kepada perusahaan lain. Kerjasama dengan PT. Heinz hingga saat ini masih terus berlangsung.
PT. BFPI memiliki IUP (Ijin Usaha Perikanan) No. 455/DJAL/LUT-1/Non PMA PMDN/IX/1988 yang diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan dengan tujuan untuk mendapatkan perlindungan dan jika melanggar akan mendapatkan sanksi yang berlaku selama perusahaan tersebut melakukan kegiatan. SIUP ini digunakan untuk melakukan perdagangan di seluruh wilayah Republik Indonesia selama perusahaan masih melakukan proses produksi.
B. Lokasi Perusahaan
Lokasi PT. BFPI berada di Jalan Sampangan No. 1,Desa Kedung Rejo, Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Jarak pabrik dengan Kota Banyuwangi ± 45 km kearah Barat Daya, sedangkan jarak antara pabrik dengan tempat pendaratan ikan ± 200 meter. Denah PT. BFPI dapat dilihat pada Lampiran 1. Luas areal PT. BFPI adalah ± 5 hektar dengan luas bangunan ± 25.705 m2.
Wilayah Muncar sangat strategis untuk didirikan perusahaan pengolah perikanan, karena dekat dengan wilayah penangkapan dan pendaratan ikan, sehingga bahan baku mudah didapat. Selain itu, lokasi perusahaan dekat dengan sumber tenaga kerja serta sarana transportasi mudah dilalui sehingga memenuhi efisiensi kerja.
Adapun batas-batas perusahaan sebagai berikut:
Utara : CV. Sari Laut dan PT. Sumber Yala Samudra
Selatan : Rumah Penduduk Desa Kalimati
Barat : PT. Sari Feed Indo Jaya
Timur : Dinas Perikanan Cabang Muncar dan tempat berlabuhnya kapal
serta Pusat Pelelangan Ikan (PPI)
C. Struktur Organisasi
Struktur organisasi PT. BFPI yang merupakan anak perusahaan dari PT. Mantrust. General Manager membawahi 8 bagian yang masing-masing bagian dikepalai oleh seorang kepala bagian, antara lain: Ka. Sie. Adminsitrasi, Ka. Sie Personalia dan Umum, Ka. Sie Produksi, Ka. Sie Teknik, Ka. Sie Planning Production Inventory Control (PPIC), Ka. Sie. Quality Control (QC) atau Laboratorium, Ka. Sie. Pengadaan Bahan Baku, Ka. Sie. Gudang Barang Jadi dan Pengadaan Bahan Pembantu. Struktur organisasi ditunjukkan dalam Lampiran 2, berikut penjelasan mengenai tugas tiap bagian:
1. Direktur
Seorang Direktur bertugas untuk:
a. Melakukan pengawasan secara menyeluruh terhadap semua aktivitas perusahaan.
b. Menentukan garis besar kebijakan perusahaan yang bertujuan untuk mengembangkan perusahaan.
c. Menentukan target produksi untuk memenuhi permintaan pasar.
d. Bertanggung jawab terhadap perkembangan perusahaan atau kelangsungan hidup perusahaan.
e. Meninjau secara keseluruhan rencana HACCP setelah manajer pabrik ditinjau oleh Tim HACCP.
2. Manajer Operasional
Bertanggung jawab atas seluruh kegiatan produksi dan manajer operasional yang bertanggung jawab atas seluruh pemasaran produk akhir. Manajer ini bertanggung jawab untuk mengkoordinasi bagian-bagian dibawahnya.
3. Bagian Production Planning Inventory Control (PPIC)
a. Melakukan penawaran kepada perusahaan lain dalam rangka memasarkan produk.
b. Mengatur dan merencanakan kegiatan produksi yang dilakukan setiap periode produksi, satu bulan sekali untuk produksi tuna dan lemuru khususnya.
c. Menentukan kebijakan dalam merencanakan produksi dan penjualan.
4. Bagian Personalia dan Umum
a. Menangani gaji dan lembur karyawan serta pemberian tunjangan-tunjangan.
b. Menjaga keefektifan serta keefisienan kerja karyawan dengan pendelegasian tugas pada kepala bagian masing-masing.
c. Menjaga dan memelihara kesejahteraan karyawan dan fasilitas karyawan serta mendata karyawan.
d. Menerima dan memberhentikan karyawan.
5. Bagian Administarasi
Bertugas mencatat keuangan, membuat neraca keuangan, dan mendata kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan keluar dan masukanya keuangan.
6. Bagian Produksi
Kepala bagian produksi bertugas untuk bertanggung jawab terhadap jalannya proses produksi, mengatur serta mengawasi kerja karyawan produksi, sehingga kontinuitas produksi terjamin, dan mengawasi jalannya produksi secara keseluruhan.
7. Bagian Pengadaan Bahan Baku dan Bahan Pembantu
Kepala bagian bertugas dan bertanggung jawab untuk menyediakan bahan baku ikan, melakukan negosiasi harga bahan baku, melakukan pembelian dan penimbangan ikan, penyortiran ikan, dan memantau perkembangan pasar. Selain itu, bagian ini juga bertanggung jawab untuk menyediakan bahan pembantu antara lain: garam, bahan pembuat saus, minyak, kaleng, dan kardus.
8. Bagian Quality Control
a. Mengawasi dan meneliti mutu bahan baku serta produk jadinya.
b. Mengadakan percobaan untuk menemukan rasa atau produk baru untuk diproduksi dan dipasarkan.
c. Menentukan kualitas bahan baku yang layak untuk diproduksi atau tidak.
d. Menentukan layak atau tidaknya produk tuna untuk keluar dengan tujuan dipasarkan.
9. Bagian Teknik
Kepala bagian teknik memiliki tugas mengatur semua peralatan, pekerjaan, personal, mengawasi semua kegiatan teknik, mencatat barang-barang teknik yang masuk, menjamin ketersediaan mesin yang digunakan dalam produksi maupun kebutuhan berlangsungnya kegiatan perusahaan. Serta bertanggung jawab terhadap semua sarana dan prasarana serta peralatan yang mendukung jalanya proses produksi dan melakukan perawatan terhadap mesin dan seluruh peralatan produksi sehingga tidak mengganggu jalannya proses produksi.
10. Bagian Gudang Barang Jadi dan Bahan Pembantu
Kepala bagian gudang jadi bertugas menjaga bangunan agar tidak lembab dan jauh dari air. Menjaga kebersihan gudang dari segala hama yang dapat merusak produk jadi dan mengatur penataan barang dalam gudang. Kepala bagian gudang bahan pembantu mempunyai tugas menerima dan mengeluarkan bahan-bahan yang digunakan untuk membantu membuat produk, bertanggung jawab mencatat persediaan barang yang ada dan melaporkan jumlah serta jenis barang yang masih ada di gudang, memesan barang yang telah habis untuk kepentingan produksi, menjaga dan menyimpan bahan pembantu agar tetap baik.
11. Bagian Penjualan (Pemasaran)
a. Mencaridan memasarkan produk pada konsumen.
b. Mencatat setiap hasil penjualan produk-produk perusahaan yang terjual serta persediaan yang masih tersisa di gudang.
D. Ketenagakerjaan
Tenaga kerja merupakan faktor produksi terpenting dalam pelaksanaan suatu proses produksi oleh sebab itu tenaga kerja suatu perusahaan sangatlah penting peranannya dalam kegiatan produksi yang dilakukan oleh perusahaan.
D.1. Jumlah Tenaga Kerja
Jumlah tenaga kerja di PT. BFPI saat ini ± 600 orang yang dibagi antara karyawan dan karyawati. Pembagian tugas pokok meliputi tenaga kerja baik dalam pengadaan bahan baku, proses pengolahan, dan pemasaran. Tingkat pendidikan dan keterampilan dapat dijadikan ukuran dalam menentukan gaji, pemberian tugas dan tanggung jawab.Tenaga kerja dapat dibedakan dalam beberapa kelompok, yaitu:
1. Tenaga Kerja Bulanan (tetap)
Tenaga kerja bulanan adalah karyan/karyawati tetap yang telah diangkat oleh perusahaan dan masuk tiap hari. Golongan ini secara tetap mendapat gaji dan fasilitas yang menunjang kesejahteraannya. Tenaga kerja bulanan ini ditempatkan pada bagian pengadaan dan penerimaan bahan/barang, keuangan, riset dan teknologi, dan administrasi umum. Tenaga kerja bulanan terdapat ± 120 karyawan.
2. Tenaga Kerja Harian Tetap
Tenaga kerja harian tetap merupakan tenaga kerja yang diangkat oleh perusahaan untuk menjadi pekerja tetap pada perusahaan yang pemberian upahnya didasarkan pada hitungan hari kerja mereka. Jenis pekerjaannya meliputi bagian perlengkapan dan transportasi. Tenaga kerja harian tetap berjumlah ± 110 karyawan.
3. Tenaga Kerja Borongan
Tenaga kerja borongan adalah tenaga kerja yang bekerja jika stok ikan melimpah dengan sistem upah borongan. Kegiatan tenaga kerja borongan yaitu pemotongan ikan, trimming, pengisian dalam kaleng (filling), pengelapan, pelabelan, dan pembongkaran gudang. Tenaga kerja borongan berjumlah ± 200 karyawan.
4. Tenaga Kerja Harian Musiman
Tenaga kerja harian musiman berasal dari Daerah sekitar Muncar, Srono, Rogojampi, dan Sumber Beras. Tenaga kerja harian musiman di PT. BFPI berjumlah 170 karyawan.
D.2. Pembagian Jam Kerja
Hari kerja yang berlaku di PT. BFPI adalah 6 hari kerja dalam setiap minggunya. Hari libur diberlakukan setiap hari minggu dan hari besar keagamaan. Rincian jam kerja setiap harinya disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Pembagian Waktu Kerja Karyawan PT. BFPI
Hari Kerja | Jam Kerja (WIB) | Istirahat (WIB) |
Senin | 07.30-14.30 | 11.30-12.00 |
Selasa | 07.30-14.30 | 11.30-12.00 |
Rabu | 07.30-14.30 | 11.30-12.00 |
Kamis | 07.30-14.30 | 11.30-12.00 |
Jum’at | 07.30-14.30 | 11.30-12.00 |
Sabtu | 08.00-12.30 | 11.30-12.00 |
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa waktu kerja efektif dalam satu minggu hanya enam hari. Pada hari Senin-Jum’at, karyawan bekerja selama 6,5 jam/hari yakni pada pukul 07.30 – 14.30 WIB, hari Sabtu bekerja selama 4 jam/hari pada pukul 08.00 – 12.30 WIB, dan istirahat selama 30 menit pada pukul 11.30 - 12.00 WIB. Pembagian jam kerja tersebut dilaksanakan di PT. BFPI dengan baik dan tertib, selepas jam tersebut disebut jam lembur.
D.3. Tingkat Pendidikan
Rata-rata pendidikan dan tingkat pendidikan tenaga kerja pada PT. BFPI disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Tingkat Pendidikan dan Jabatan Karyawan PT. BFPI
Tingkat Pendidikan | Jabatan |
SMA /SMK-S1 | 1. Manajer Produksi 2. Kepala Pengawas (QA), Supervisior 3. Quality Control 4. Kepala Bagian 5. Karyawan kantor 6. Seksi-seksi |
SD-SMP-SMA/SMK | 1. Satpam 2. Sopir 3. Buruh / karyawan harian atau borongan |
Berdasarkan Tabel 2, dapat diketahui bahwa tingkat pendidikan tertinggi di PT. BFPI yakni S-1, serta yang terendah adalah SD. Dengan demikian, semakin tinggi tingkat pendidikan akan menunjukan semakin baiknya kemampuan atau keterampilan, maka akan ditempatkan jabatan yang semakin tinggi pula, dan sebaliknya. Selain itu, tingkat jabatan juga disesuaikan kemampuan atau keterampilan karyawan.
D.3. Sistem Penggajian
Sistem pembayaran gaji pada PT. BFPI digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Bulanan dan harian tetap dibayarkan setiap bulan.
2. Harian dan borongan dibayarkan setiap hari Jum’at.
Perusahaan juga memberikan fasilitas kepada karyawan tetap sesuai kesepakatan kerja bersama tahun 2002, fasilitas tersebut antara lain: pengobatan, asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, dan tunjangan hari tua. Karyawan tetap juga menerima hak cuti dan gaji tetap serta uang lembur tiap bulan.
E. Kegiatan Pokok Usaha
PT. BFPI bergerak dalam usaha pengalengan ikan. Aneka produk ikan kaleng dihasilkan dengan jenis medium yang berbeda. Sebagian besar produk yang dihasilkan berupa lemuru kaleng, mackerel kaleng, dan tuna kaleng. Selain memproduksi ikan kaleng perusahaan ini juga memproduksi tepung ikan yang bahan bakunya berasal dari hasil samping pengalengan ikan berupa kepala, ekor, tulang, dan isi perut.
Berbagai macam produk kaleng yang dihasilkan oleh PT. BFPI untuk memenuhi permintaan pasar lokal dan internasional antara lain:
1. Sardines/Mackerel in Tomato, produk ikan kaleng yang menggunakan bahan baku lemuru atau mackerel dengan menggunakan media saos tomat.
2. Solid Tuna in brine, produk yang dihasilkan dari bahan baku tuna daging utuh dengan media air garam.
3. Tuna in oil, produk yang dihasilkan dari bahan baku tuna daging utuh dengan media minyak soya dan minyak sawit.
4. Sambal Goreng Ikan Tuna (SGIT), produk ikan kaleng yang dihasilkan dari daging merah daging merah pada tuna.
F. Sarana dan Prasarana Penunjang Produksi
F.1. Sarana
Sarana merupakan alat yang digunakan langsung dalam proses pengalengan ikan tuna. Sarana ini memegang peranan yang sangat penting dalam usaha pembuatan produk sendiri. Selain itu sarana juga dapat berupa ruang proses produksi.
1. Box di Cold Storage
Box ini terbuat dari baja dengan kapasitas ± 500 Kg /5 Kwintal ikan. Berat bersih dari box ini adalah ± 100 Kg /1 Kuintal. Box digunakan sebagai wadah untuk menampung ikan ketika disimpan dalam cold storage.
2. Timbangan (neraca) digital besar
Timbangan ini digunakan untuk menimbang berat awal dan berat akhir dari box sebelum dan sesudah terisi tuna. Timbangan ini khusus digunakan pada saat penerimaan bahan baku. Penimbangan bertujuan untuk mengetahui total berat bahan baku yang diterima dari supplier.
3. Pemasak (Cooker)
Pemasak digunakan untuk memasak ikan tuna dengan memanfaatkan uap panas dari boiler. Pemasak yang digunakan untuk memasak tuna sebanyak tiga buah, satu buah pemasak berkapasitas 20 buah rak besi atau memiliki kapasitas 10 Ton dan setiap rak dapat menampung 150 – 200 Kg. Pemasak ini terbuat dari baja yang berbentuk persegi panjang berukuran 6 m x 2 m.
4. Sprayer
Alat ini digunakan untuk mendinginkan secara cepat ikan yang telah dimasak dengan pemasak hingga mencapai suhu 35 oC. Sprayer terbuat dari kerangka besi yang dilapisi dengan plastic dan terdapat pipa-pipa air. Alat ini akan menyemprotkan air pada ikan atau daging ikan yang akan didinginkan. Sprayerini terdiri dari 60 kran untuk sprayingberbentuk horizontal dengan tiang yang mengarah kebawah.
5. Meja Stainless
Meja stainless digunakan sebagai alas untuk melakukan segala aktifitas produksi (skin out dan trimming tuna), ukurannya 1 m x 10 m. Banyaknya meja stainless yakni 40 buah.
6. Nampan
Nampan digunakan sebagai tempat atau wadah daging ikan tuna bentuk loin, chunk dan flakes yang terbuat dari plastik yang berukuran 30 cm x 60 cm. Nampan yang dimiliki PT. BFPI sejumlah 500 buah.
7. Troli
Troli digunakan untuk memindahkan tuna yang diproses dari ruang/tempat proses satu ke tempat yang lainnya, sehingga akan mempercepat proses pemindahan barang atau alur produk. Troli yang dimiliki PT. BFPI berjumlah delapan buah.
8. Pisau
Pisau digunakan untuk membersihkan kulit ikan, tulang ikan, memisahkan daging merah dan daging putih dan lain-lain dalam proses trimming. Alat ini terbuat dari stainless steel dengan ujung mata pisau yang agak meruncing dengan ukuran 20 cm x 5 cm.
9. Timbangan
Merupakan alat yang digunakan untuk mengecek berat daging ikan tuna berbentuk daging loin, chunk, dan flake setelah trimming dan untuk menimbang daging ikan sesuai dengan berat yang diinginkan. Timbangan ini ada dua jenis yaitu timbangan digital yang berjumlah empat unit dan manual yang berjumlah sepuluh unit. Timbangan digital dan manual ini memiliki tingkat ketelitian 0,1 gr.
10. Conveyor
Conveyor merupakan alat dengan ban yang berjalan otomatis. Alat ini berfungsi untuk memindahkan ikan sebagai bahan baku dari ruang/tempat proses yang satu ke tempat yang lainnya. Conveyor di PT. BFPI berjumlah lima buah.
11. Mesin Pengisian Kaleng (Pack shapper)
Alat ini digunakan untuk mengisi ikan pada kaleng. Alat ini terbuat dari aluminium. Cara kerja alat ini adalah daging yang dimasukkan pada pack shaper akan keluar dengan berbentuk potongan-potongan yang ukurannya sudah diatur karena di dalam alat ini terdapat pisau yang fungsinya memotong daging ikan dalam bentuk potongan-potongan (chunk). Mesin ini berjumlah satu unit.
12. Mesin Pengisi Media
Alat ini digunakan untuk mengisi media dalam kaleng yang berupa pipa besi dengan conveyor di bawahnya. Kaleng akan berjalan otomatis pada conveyorkemudian dengan sendirinya terisi oleh media. Pada divisi tuna terdapat dua buah mesin pengisi media, satu buah untuk jenis kaleng ukuran 226 gr dan satu buah kaleng lagi untuk ukuran 1814 gr. PT. BFPI memiki mesin pengisi media yang berjumlah empat unit.
13. Mesin Pemanas Medium
Mesin pemanas bumbu berupa ketel besar dan terbuat dari bahan stainless steel dengan kapasitas 65 liter yang berdiameter 1 m dan tinggi 1,5 m dengan suhu pemanas hingga 60 oC. Alat ini memanfaatkan uap panas dari boiler sehingga bumbu di dalamnya tetap panas. Mesin ini di PT. BFPI berjumlah enam unit.
14. Seamer
Penutupan kaleng dilakukan dua kali yaitu petutupankaleng bagian luar kemudian bagian dalam. Kaleng yang ditekan chuckberputar dan melewati alur perapat tutup kaleng yang diam. Kaleng dan roll berputar membentuk lipatan pertama kemudian masuk roll kedua untuk ditekan sehingga lipatan hasil roll pertama rapat. Seamer dilengkapi dengan vacuum pump untuk menyedot udara yang berada dalam kaleng sebelum ditutup, sehingga tidak perlu penghampaan udara (exhausting). Mesin ini berjumlah empat unit. Spesifikasi mesin seamer untuk proses pengalengan tuna sebagai berikut:
1. Spesifikasimesin seamer untuk kaleng ukuran 226 gr :
a. Merk : Lubecca tahun 1990
b. Seri : 90095
c. Jumlah : 2 buah
d. Buatan : Jerman
e. Tipe : L.W.205 SP
f. Daya : 50 Hz, 4 KW, 24 V, 2.3 A
g. Kecepatan : 1400 rpm
h. Kapasitas : 75 %
1. Spesifikasi mesin seamer untuk kaleng ukuran 1814 gr :
a. Merk : Kuan Chyou tahun 1983
b. Seri : 08
c. Jumlah : 1 buah
d. Buatan : Taiwan
e. Model : K3-2056
f. Daya : 3 HP. 380 V, 50 Hz, 5.7 A
g. Kecepatan : 1370 rpm
h. Kapasitas : 5 %
15. Retort
Retort berfungsi untuk proses sterilisasi atau retorting. Retort dilengkapi dengan termometer, alat pengukur tekanan dan alat pencatat suhu, dan pengatur tekanan otomatis. Prinsip kerja alat ini adalah memanaskan produk kaleng dengan suhu dan tekanan tinggi melalui uap panas hingga jangka waktu tertentu. Spesifikasi retortdi PT. BFPI antara lain :
1. Jumlah : 20 buah
2. Diameter : 1,5 m
3. Tinggi : 6 m
4. Bentuk : autoclave vertical
5. Kapasitas : 900 kaleng ukuran 225 gr dan 104 kaleng ukuran 1814 gr
6. Daya : 5 pK, 4 KW, 10 HP
16. Mesin Penghasil Uap (Boiler)
Boiler merupakan mesin yang berfungsi menghasilkan uap dengan sistem pemanasan menggunakan api yang berasal dari pembakaran batu bara dan kayu yang berjumlah satu unit. Uap dari mesin tersebut di salurkan menuju ke dalam mesin yang prosesnya memerlukan uap.
17. Alat Transportasi (Forklift)
Forklift merupakan alat pengangkut yang dugunakan untuk mengangkut kaleng atau juga produk ikan kaleng yang akan dikirim untuk dinaikkan di atas truk, alat ini berjumlah empat unit
18. Pencuci Kaleng (Can Washer)
Alat ini digunakan untuk mencuci kaleng yang sudah dilakukan seaming karena biasanya pada kaleng terdapat tumpahan medium pada badan kaleng. Alat ini bekerja dengan cara air yang keluar dari pipa-pipa disemprotkan pada kaleng ikan yang melewati conveyor. Alat ini berjumlah empat unit.
19. Keranjang Besi atau Basket
Berfungsi sebagai tempat penampungan kaleng berisi ikan pada saat sterilisasi dalam retort dengan kapasitas ±650-1300 buah. Keranjang ini berdiameter 97 cm dan tinggi 55 cm.
20. Derek Mekanis
Berfungsi untuk mengangkat dan memindahkan beban berat, memasukkan dan mengeluarkan keranjang dari retort dengan kapasitas satu ton.
21. Pallet
Berfungsi sebagai tempat penampungan ketika memindahkan kaleng dalam karton dan bahan pembantu di gudang.
22. Inkjet Print
Inkjet print berfungsi sebagai pencetak kode produksi, tanggal kadaluarsa, siklus retort, dan kode retort, merk Videojet Triumph. Mesin ini memiliki sensor otomatis dimana kaleng yang lewat dibawahnya akan tercetak kode produksinya.
F.2. Prasarana
Sarana dan prasarana pada dasarnya digunakan untuk menunjang usaha di PT. BFPI menggunakan prasarana sebagai berikut:
1. Bangunan Pabrik
Bangunan memiliki tata letak unit pengolahan yang baik karena diatur sesuai dengan alur proses produksi sehingga berjalan lancar tidak ada proses bolak-balik. Luas bangunan pabrik yakni ± 25.705 m2.
2. Unit Bangunan Bengkel dan Suku Cadang
Bengkel dan suku cadang ini menyimpan alat-alat persediaan suku cadang untuk mesin apabila ada kerusakan yang mungkin dapat diatasi dan segera diperbaiki dengan cepat sehingga tidak mengganggu jalannya proses produksi.
3. Unit Produksi Tuna
Unit Produksi Tuna yaitu bangunan atau ruangan yang digunakan untuk proses produksi pengalengan tuna.
4. Unit Produksi Sarden
Unit Produksi Sarden yaitu bangunan atau ruangan yang digunakan untuk proses produksi pengalengan lemuru.
5. Gudang Bahan
Gudang bahan digunakan sebagai tempat menyimpan bahan-bahan pembantu, bahan pengemas, dan peralatan produksi.
6. Pendingin (Cold Storage)
Coldstoragemerupakan salah satu sarana penunjang yang memiliki empat ruangan pendingin dan satu ruang freezer yaitu Air Blast Freezer (ABF). Kapasitas dari masing-masing cold storage adalah 100 ton untuk cold storage satu dan dua, 250 ton untuk cold storage tiga dan empat, dan lima ton untuk ABF. Suhu yang digunakan untuk tempat ruangan pendingin yaitu antara -15 oC sampai -16 oC dengan standar suhu -18oC.
7. Air Blast Frezeer
Air Blast Frezeer merupakan ruang untuk menyimpan bahan baku yang dilengkapi dengan alat pendingin atau refrigerator dan dilengkapi alat pencatat suhu yang memudahkan untuk memeriksa suhu. PT BFPI memiliki satu unit Air Blast Freezer berkapasitas lima ton dengan suhu ABF yaitu -40 oC. Proses penyimpanan ikan dilakukan selama 8-10 jam, namun hal ini tergantung jenis ikan yang disimpan. Salah satu sarana penunjang berikut ini menggunakan bahan baku berupa monochlorodifluoromethane yang berfungsi sebagai refrigerant yang kemudian diuapkan menggunakan refrigerator yang berada dalam evaporator. Proses penguapan ini membutuhkan panas dari lingkungan sekitar. Dengan menyerap panas dari luar, dihasilkan suatu uap refrigerantbertekanan rendah yang berasal dari evaporator. Selanjutnya uap tersebut dihisap oleh kompresor dan kompresor menekan uap tersebut hingga mencapai tekanan tertentu dan masuk ke dalam kondensor sehingga uap tersebut mengembun dan masuk ke peralatan pendingin.
8. Jaringan Listrik
PT. BFPI menggunakan listrik dari PLN, jaringan listrik memiliki peranan yang sangat besar, yaitu untuk memenuhi kebutuhan listrik semua ruangan dan sarana dalam proses pengalengan lemuru. Jaringan listrik juga digunakan sebagai sumber tenaga penggerak mesin-mesin.
9. Jaringan Telepon
Jaringan telepon digunakan untuk transaksi pembelian bahan baku, transaksi penjualan produk akhir maupun berkomunikasi dengan sesama karyawan di bagian lain, dalam satu area usaha yang sama.
10. Ruang Quality Control
Ruangan ini berfungsi sebagai tempat untuk menguji kualitas bahan baku sebelum digunakan, ketika diproses dan setelah produk jadi. Ruangan ini juga digunakan sebagai tempat percobaan untuk membuat produk baru.
11. Fasilitas Karyawan
Fasilitas karyawan yang bekerja sudah diperhatikan demi kenyamanan pekerja. Prasarana yang diperuntukan untuk kenyamanan karyawan berupa kantin sebanyak satu unit, mushola sebanyak satu unit dan toilet sebanyak 22 buah.
12. Pengolahan Limbah Pabrik
Pengolahan limbah pabrik dilakukan untuk mengurangi pencemaran serta untuk mendapatkan nilai tambah (added value) dari limbah yang dihasilkan pada proses pengalengan lemuru dan tuna di PT. BFPI. Limbah yang dihasilkan berupa limbah padat dan cair yang dikumpulkan dalam ruangan melalui saluran pembuangan. Ruang pengolahan limbah di PT. BFPI dibagi menjadi dua bagian yaitu ruang pengolahan limbah padat dan limbah cair. Limbah cair diolah untuk memisahkan antara minyak ikan dan air. Air akan dialirkan ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk diolah menjadi sebelum dibuang kembali lingkungan, sedangkan minyaknya akan ditampung untuk diolah menjadi produk lainnya. Limbah padat seperti kepala, ekor, dan isi perut ikan diolah menjadi tepung ikan.
13. Ruang Produksi Tepung Ikan
Ruang produksi tepung ikan merupakan tempat untuk memproses limbah padat menjadi tepung ikan. Bahan baku pembuatan tepung ikan berasal dari ikan yang sudah tidak digunakan (tidak memenuhi standar) serta limbah-limbah padatan seperti kepala, ekor, tulang, dan isi perut. Proses ini diawali dari proses pengukusan, pengeringan, pendinginan, penyaringan, penghancuran, dan pengemasan. Pengemasan tepung ikan menggunakan karung. Satu karung diisi sebanyak 50 kg tepung ikan. Selanjutnya karung dijahit secara manual kemudian disimpan dan didistribusikan ke daerah lokal Banyuwangi.
14. Kantor
Kantor digunakan untuk melakukan segala kegiatan yang berhubungan dengan administrasi. Kantor utama ditempati oleh pemimpin perusahaan dan staf kantor sedangkan kantor yang ditempati kepala bagian divisi terletak dilokasi masing-masing tempatnya bertugas.
III. BAHAN BAKU
A. Asal Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan oleh PT. BFPI dibagi menjadi dua, yaitu bahan baku utama dan bahan baku pembantu. Bahan baku utama yang digunakan adalah lemuru (Sardinella lemuru, Sardinella longiceps, Sardinella fimbriata, Sardinop sagax, Sardinella philchardus). Bahan baku yang diperoleh PT. BFPI dari impor maupun dari daerah lokal. Bahan baku yang diimpor berasal dari China, Yaman, Oman, India, California, dan lainnya, sedangkan bahan baku lokal berasal dari perairan laut Jawa Timur, meliputi daerah Pantai Muncar, Pancer, Puger, Grajakan, Matekan, Pasuruan, Probolinggo, Madura, dan Bali.
Bahan baku pembantu yang digunakan untuk produk pengalengan lemuru berupa bahan saus sebagai media pengisi. Bahan pembuatan saus meliputi bawang merah, bawang putih, bawang bombay, cabai, jahe, pasta tomat, tepung pengental, gula, dan garam. Bahan-bahan tersebut disimpan dalam gudang bahan baku produk kering. Bahan baku segar seperti cabe, bawang merah, bawang putih, bawang bombay, cabe, jahe dibeli pada hari produksi untuk menjaga kesegaran dan kualitas. Bahan-bahan tersebut juga dibeli dalam keadaan sudah dikupas oleh supplier untuk mengurangi penggunan tenaga kerja tambahan untuk mengupas serta mempermudah pengecekan bahan pada saat pembelian.
B. Spesifikasi Bahan Baku
Bahan baku lemuru yang digunakan untuk proses pengalengan di PT. BFPI memiliki ukuran panjang 20-25 cm dengan berat 18-23 gr untuk kaleng ukuran 155 gr, sedangkan untuk kaleng ukuran 425 gr memiliki panjang 20-30 cm dengan berat 23-30 gr. Ukuran tersebut disesuaikan dengan ukuran kemasan kaleng. Lemuru yang digunakan sebagai bahan baku harus memilki standar yang ditetapkan oleh PT. BFPI. Standar lemuru dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Standar Bahan Baku Ikan Lemuru
No | Pemeriksaan | Standar Pemeriksaan |
1 | Kondisi tubuh (tekstur, kenampakan, konsistensi) | Baik, kenyal, dan keadaan segar |
2 | Insang | Merah kecokelatan |
No | Pemeriksaan | Standar Pemeriksaan |
3 | Mata | Menonjol dan bening rata |
4 | Bau | Khas ikan segar |
5 | Rasa | Rasa khas ikan tidak juicy |
6 | Kulit/sisik | Sisik menempel kuat |
7 | Harga | Sesuai dengan standar perusahaan |
Sumber : BFPI, 2015
C. Ketersediaan Bahan Baku
Jumlah produksi sarden di PT. BFPI tergantung ketersediaan bahan baku di supplier. Produksi tersebut disesuaikan juga dengan pesanan dari PT. Heinz Indonesia selaku produsen utama produk lemuru kaleng. Kebutuhan bahan baku dalam sekali produksi sebesar 50-70 ton, namun produksi tersebut juga tergatung pesanan serta ketersediaan lemuru. Satu ton lemuru akan menjadi 2400 kaleng ukuran 425 gr dan 6400 kaleng ukuran 155 gr.
Bahan baku yang berasal dari lokal (Banyuwangi) langsung diproduksi untuk menjaga kesegaran ikan dan menghindari penurunan mutu ikan akibat penyimpanan. Sedangkan bahan baku yang berasal dari impor disimpan terlebih dahulu di cold storage sebagai stok maupun produksi selanjutnya. Hal ini untuk menjaga rantai dingin ikan setelah distribusi.
D. Seleksi Bahan Baku
Bahan baku yang diterima harus sesuai dengan standar yang ditetapkan. Oleh karena itu, pihak Quality Control harus melakukan penyeleksian bahan baku yang masuk. Penyeleksian bahan baku dilakukan dengan sampling secara acak yaitu mengambil ikan sebanyak 5-10 ekor/keranjang (ikan lokal). Setelah itu dilakukan pengujian organoleptik dan kimia ikan. Pengujian kimia yang dilakukan yaitu pengujian formalin. Jika tidak ditemukan penyimpangan, maka segera dilakukan pembongkaran bahan baku. Namun, jika ditemukan penyimpangan maka pihak perusahaan mengambil langkah-langkah sebagai berikut :
1. Jika ditemukan ikan yang mengalami penyimpangan seperti pecah perut dan lembek kurang dari 1 % maka ikan yang masuk dapat diterima. Namun, jika jumlahnya melebihi 1 % ikan ditolak.
2. Jika ditemukan ikan yang busuk maupun mengandung formalin, maka tidak ada toleransi penerimaan bahan baku atau ditolak.
IV. PENGENDALIAN MUTU
Sistem pengendalian mutu pada proses produksi pengalengan lemuru di PT. BFPI menggunakan sistem Hazard Analysis Critical Cotrol Point (HACCP). Tujuan utama pengendalian mutu adalah untuk menghasilkan produk yang aman dan memiliki kualitas baik. Mutu yang baik dalam suatu produk didapatkan dari sistem pengendalian mutu yang baik yang meliputi bahan baku, proses produksi dan produk akhir. Pengendalian mutu di PT. BFPI dilakukan oleh bagian Quality Control.
A. Pengendalian Mutu Bahan Baku
Pengendalian mutu bahan baku lemuru bertujuan untuk mempertahankan kualitas ikan sebelum diproses sehingga dihasilkan produk kaleng sesuai standar keamananan pangan. Pengendalian mutu bahan baku dilakukan ketika lemuru diterima dari supplier berupa pengujian secara visual, ukuran ikan, dan organoleptik dengan sampel tertentu. Jika bahan baku tidak memenuhi standar, maka ikan tersebut akan dikembalikan ke supplier. Pengendalian mutu pada saat penerimaan bahan baku adalah pengecekan secara langsung oleh bagian QC penerimaan. Pengecekan dilakukan pada setiap ikan yang masuk dan yang akan diproduksi setelah penyimpanan di cold storage. Mutu bahan baku juga dipengaruhi oleh penanganan supplier meliputi cara penangkapan, penanganan ikan, jumlah bakteri awal, dan cara penyimpanan (Husni & Putra, 2014). Lemuru yang berasal dari lokal sebagian besar merupakan ikan segar hasil tangkapan nelayan sehingga mutunya relatif baik. Pengendalian mutu bahan juga dilakukan pada ikan sebelum diproduksi. Ikan yang berasal dari lokal dan akan diproduksi langsung ditempatkan pada bak penyimpanan sementara yang telah diberi es dan garam untuk menghambat kemunduran ikan. Penambahan garam sebanyak 5 % dari bahan baku bertujuan untuk menurunkan titik beku air sehingga suhu es menjadi lebih rendah dan lebih lama dalam mempertahankan suhu rendah ikan.
Bahan baku yang masuk dilakukan pengecekan oleh QC bagian penerimaan bahan baku dengan pengukusan telebih dahulu untuk mengetahui kandungan garam dan rasa ikan. Kandungan garam akan berpengaruh pada komposisi pemberian garam pada saus yang akan dibuat. Pengujian pada bahan pembantu (pasta tomat, tepung pengental, pewarna, gula, garam, dan bumbu-bumbu lainnya) dilakukan dengan melihat kualitas fisik (visual), kimia, dan ukuran bahan. Pada tepung pengental dilakukan uji stabilitas kekentalannya dan untuk pasta tomat dilakukan pengujian warna, rasa, dan viskositas. Pengujian dilakukan oleh QC bagian saus dengan penyamplingan.
Bahan pengemas yang digunakan PT. BFPI untuk mengemas produk pengalengan lemuru terdiri atas dua macam yaitu:
1. Pengemas primer
Bahan pengemas primer yang digunakan untuk pengalengan lemuru adalah kaleng. Kaleng yang digunakan harus dapat menghantarkan panas, tidak tembus pandang, dan densitas tinggi. Selain itu, logam harus dilapisi enamel (pelapis) untuk mencegah adanya reaksi redoks (reduksi dan oksidasi) karena kebanyakan logam akan mudah bereaksi dengan adanya asam.
2. Pengemas Sekunder
Bahan pengemas sekunder merupakan bahan pengemasan yang tidak berhubungan langsung dengan produk. Bahan pengemas yang digunakan adalah karton berukuran 329 x 275 x 185 mm untuk kaleng ukuran 155 gram dan 310 x 233 x 230 mm untuk kaleng ukuran 425 gr. Pengecekan kualitas karton dilihat pada tebal kraft, ukuran karton, kekuatan karton, dan keseuaian gambar dengan yang dipesan. Pengujian kekuatan karton dengan dibanting pada ketinggian satu meter dan juga dilakukan uji penumpukan sebanyak sepuluh tumpukan.
B. Pengendalian Mutu Proses Produksi
Pengendalian mutu proses produksi dilakukan setiap tahapan dengan penerapan Good Manufacturing Practices (GMP) dan Standart Sanitation Operating Procedure(SSOP). GMP merupakan acuan dalam melaksanakan kegiatan produksi pengalengan dengan baik. Setiap tahapan proses harus sesuai dengan GMP untuk menghasilkan produk yang sesuai standar. Sedangkan SSOP merupakan acuan dalam melakasankan kegiatan produksi dengan menerapkan sistem sanitasi yang baik untuk menghasilkan produk yang aman. Selain itu, PT. BFPI juga menerapakan prinsip Hazard Analysis Critical Control Point(HACCP) yang merupakan bentuk manajemen resiko untuk mencegah bahaya yang timbul dalam setiap tahapan produksi. PT. BFPI memperhatikan proses produksi yang dianggap dapat menimbulkan bahaya dengan menetapkan Critical Control Point atau Control Point. Tujuan penerapan GMP untuk pengendalian mutu pada setiap proses produksi pada Tabel 4.
Tabel 4. Tujuan Penerapan GMP di Setiap Proses Produksi
Proses | Tujuan |
Penerimaan | Mendapatkan bahan baku dengan standar kualitas baik |
Trimming (pengguntingan) | Menghilanhkan kotora yang tidak dimakan dari ikan |
Pencucian | Menghilangkan kotoran yang tertinggal di ikan |
Filling (pengisian) | Membuat isi produk sesuai ukuran kaleng dan jenisnya |
Pengecekan kualitas | Mengecek berat dan cleaning defect dari kaleng yang telah diisi |
Pengukusan (precooking) | Memperoleh ikan dalam kondisi bagus, menghilangkan kadar air ikan, dan menginaktifkan enzim |
Penirisan | Menghilangkan air setelah pengukusan |
Pengisian Media | Memberi rasa dan media pada produk |
Seaming | Menjaga produk dari kontaminasi dan mendapatkan kondisi vakum |
Sterilisasi | Memperoleh produk dengan tingkat keamanan yang tinggi |
Pengelapan | Membersihkan produk, menghilangkan bekas air dan debu |
Pengkodean | Memudahkan identifikasi dan penelusuran produk akhir |
Pelabelan | Meberikan informasi tentang produk |
Inkubasi | Mengindentifikasi ciritical defect (kembung, bocor) |
Sumber : BFPI, 2015
Penerapan GMP dan SSOP yang benar sesuai dengan kententuan akan menghasikan produk yang sesuai dengan standar yan telah ditetapkan. GMP dan SSOP menjadi prasyarat dalam pelaksanaan HACCP, dengan melaksanakan prinsip HACCP akan mencegah bahaya yang timbul pada produk sehingga produk yang dihasilkan aman untuk konsumen.
C. Pengendalian Mutu Produk Akhir
Pengendalian mutu produk akhir dilakukan oleh bagian QualityControl (QC) dengan melakukan pengontrolan/pengecekan produk akhir. Pengontrolan yang dilakukan yaitu dengan melakukan inspeksi produk setelah sterilisasi. Inspeksi dilakukan secara sampling dengan nilai penerimaan yang dapat dilihat pada Tabel 5. Dengan ketentuan sample yang diambil diharapkan dapat mewakili semua produk yang dihasilkan dalam setiap batch. Nilai penerimaan tersebut adalah jumlah produk yang mengalami kecacatan. Parameter yang digunakan selama pengujian mutu produk akhir adalah dari warna saus, kebersihan saus, dan keutuhan ikan. Standar warna saus adalah saus berwarna merah normal dan tidak pucat. Standar untuk keutuhan ikan adalah ikan harus utuh dan tidak hancur. Jika selama inspeksi ditemukan produk yang cacat melebihi nilai penerimaan maka akan dilakukan tindakan koreksi. Tindakan koreksi tersebut meliputi :
1. Melakukan karantina produk yang menyimpang saat produksi hari tersebut
2. Memberi label yang jelas dan memisahkan produk yang dikarantina
3. Diambil sampel tambahan hanya untuk batch retort yang menyimpang sebanyak 6 sampel per batch retort untuk kaleng besar (Ac: 1 ; Re: 2) dan 13 sampel untuk kaleng kecil (Ac: 2 ; Re: 3)
4. Rejectapabila hasil sampling tambahan menunjukkan hasil penyimpangan yang lebih tinggi dari nilai penerimaan dan release batch retort jika tidak ditemukan penyimpangan pada sampel tambahan.
Jumlah produksi kaleng/hari | Jumlah kaleng yang disampling/hari | Nilai penerimaan (Ac) |
< 4800 | 6 | 1 |
4.801 – 24.000 | 13 | 2 |
24.001 – 48.000 | 21 | 3 |
48.000 – 84.000 | 29 | 4 |
84.001 – 144.000 | 38 | 5 |
144.001 – 240.000 | 48 | 6 |
> 240.000 | 60 | 7 |
Tabel 5. Nilai Penerimaan dalam Inspeksi Produk Jadi
Sumber : BFPI, 2015
Pengendalian mutu untuk produk akhir dilakukan dengan pengecekan berat bersih (netto),kaleng, saus, dan ikan. Berat bersih produk jadi harus memenuhi standar yang sudah ditetapkan yaitu ± 10 gram dari berat bersih yang tertera pada kaleng. Kaleng harus sesuai standar yaitu kaleng tidak boleh menggembung, karena jika menggembung dapat diduga terjadi kerusakan akibat adanya mikroba. Standar spesifikasi dari produk akhir pengalengan lemuru di PT. BFPI mangacu pada SNI 01-3548-1994 yang meliputi keadaan kaleng, keadaan isi, jenis, dan pH media (saus), serta cemaran mikroba yang dapat dilihat pada Tabel 6. Menurut Herjanto (2007) pengendalian mutu produk akhir dilakukan dengan pengecekan produk. Pemisahan produk cacat dengan produk yang baik harus dilakukan untuk menghindari produk cacat tersebut diterima konsumen.
Tabel 6. Persyaratan mutu ikan dalam kaleng media saus tomat
No | Uraian | Satuan | Syarat Mutu |
1 2 3 4 4.1 4.2 5 6 7 8 9 10 11 11.1 11.2 11.3 | Keadaan kaleng Kehampaan Keadaan isi Media Jenis Kepekatan pH Ruang kosong (head space) Bobot tuntas Zat warna makanan tambahan Cemaran logam Cu Pb Hg Zn Sn Cemaran AS Cemaran mikrobia Bakteri aerob termofilik berbentuk spora Bakteri coliform Clostridium perfringens | mmHg Bux % v/v % b/b mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mm/kg mm/kg koloni/gram APM/ gram | Dalam kondisi normal (sebelum dan sesudah dieram), tidak bocor, tidak kembung, tidak berkarat, permukaan dalam tidak bernoda, lipata kaleng baik Min 60 Sesuai dengan SNI 01-2345-1991. Metode pengujian organoleptik – Produk perikanan Saus tomat Min 11 4.6 – 6 Maks 10 Min 70 Sesuai dengan SNI 01-0222-1995, Bahan tambahan makanan Maks 20.0 Maks 2.0 Maks 0.5 Maks 100.0 Maks 250.0 Maks 1.0 Maks 10 < 3 Negatif |
Sumber : BSN, 1994
V. PENERAPANHAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT (HACCP)
A. Kelayakan Dasar Penerapan HACCP
Sertifikat HACCP merupakan sertifikat yang penting untuk menjamin sebuah perusahaan menerapkan tindakan pencegahan terhadap timbulnya bahaya di setiap proses produksi. Selain itu, sertifikat HACCP juga digunakan untuk mendapatkan kepercayaan pasar (konsumen) terhadap produk. Sertifikat HACCP didapatkan setelah perusahaan terlebih dahulu menerapkan Good Manufacturing Practices(GMP) dan Standart Sanitation Operational Procedure (SSOP) sebagai prasyarat dasar penerapan HACCP. Tahap selanjutnya yaitu dilakukan pembinaan penerapan HACCP dan persiapan sertifikasi HACCP, yang terdiri dari dua tahap sebagai berikut (Koswara, 2007) :
1. Kelayakan dasar, yaitu penerapan sistem jaminan mutu berdasarkan HACCP, meliputi cara produksi yang baik, penerapan standar sanitasi dan prosedur operasional, ajuran teknologi produksi, pembibitan, pembudidayaan, pasca panen, pelaksanaan sanitasi, peralatan mesin, peralatan dan mesin, karyawan dan lain-lain.
2. Tahap persiapan, yaitu mempersiapkan rancangan yang mencakup organisasi, penerapan, dan evaluasi yang meliputi pemebentukan tim HACCP, deskripsi produk, identifikasi pengguna produk, penyusunan diagram alir proses, dan verifikasi diagram alir proses tersebut.
Proses pengalengan lemuru yang baik harus melaui beberapa tahap produksi dari awal hingga akhir untuk dapat menerapkan sistem HACCP secara benar. Tahap awal penerapan HACCP di PT. BFPI yaitu dengan menerpakan progam kelayakan dasar (Pre Requisite Progams). Pre Requisite Progams (PRP) merupakan syarat utama industri untuk menjalankan suatu sistem manajemen keamanan pangan khususnya HACCP. PRP menyediakan kondisi lingkungan dan operasi dasar yang diperlukan untuk produksi yang aman untuk konsumen. Progam kelayakan dasar yang dapat dilaksanakan mencakup dua hal yaitu Good Manufacturing Practices (GMP) dan Standart Sanitation Operational Procedure (SSOP).
B. Penerapan HACCP
Penerapan HACCP dalam proses pengalengan lemuru di PT. BFPI dilakukan dengan 12 tahapan yaitu :
1. Pembentukan Tim HACCP
Tahap awal penerapan Hazard Analysis Crirtical Control Point (HACCP) Tim HACCP di PT. BFPI diketuai oleh General Manajer dengan anggota PPIC Manajer, Production Manajer, Quality Control, Production Supervisor, Purchasing, Warehouse, dan Teknik. Tugas dan tanggung jawab Tim HACCP dapat dilihat dari Tabel 7.
Tabel 7. Tugas dan Tanggung Jawab Tim HACCP.
Jabatan | Tugas dan Tanggung Jawab |
General Manajer | Ketua tim HACCP, mengordinasikan tim HACCP dalam melaksanakan tugasnya dan menjamin implementasi HACCP di lapangan. |
PPIC Manajer | Mengimplementasikan progam HACCP di penggudangan dan pembelian |
Production Manajer & Production Supervisor | Mengimplementasikan program HACCP di proses produksi |
Quality Control | Mengimplementasikan dan memverifikasi pelaksanaan HACCP di lapangan |
QC Supervisor | Sekertaris tim HACCP, memelihara dokumen dan memverifikasi pelaksanaan HACCP di lapangan |
Purchasing | Mengimplementasikan HACCP di pembelian dan penanganan ikan |
Warehouse | Mengimplementasikan HACCP dalam penangann, rework, dan penyimpanan produk |
Teknik | Perencanaan, pembuatan, dan perawatan peralatan proses produksi |
Sumber : BFPI, 2015
2. Deskripsi Produk
Produk harus dideskripsikan secara jelas dan rinci mulai dari bahan baku, asal bahan baku, nama produk, produk akhir, hingga cara pengemasannya. Deskripsi produk PT. BFPI dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Deskripsi Produk PT. BFPI.
Deskripsi | Keterangan |
Nama Produk | Ikan pelagis dalam kaleng Ikan sarden dalam kaleng Ikan mackerel dalam kaleng |
Spesies bahan baku | Sardinella longiceps, S. fimbriata, S. sagax, S. philchardus, Scomber australiticus, Scomber scombrocus, Scomber joponicus |
Asal Bahan Baku | Perairan laut jawa timur seperti Muncar, Pancer, Puger, Grajakan, Matekan, Pasuruan, Puger, Probolinggo, Madura, dan Bali. Serta impor dari China, India, Yaman, Oman, dan Jepang. |
Penerimaan bahan baku | Diterima dalam keadaan segar atau beku |
Produk akhir | Ikan Sarden/mackerel dalam saus tomat Ikan Sarden/mackerel dalam saus cabe Ikan Sarden/mackerel dalam saus extra pedas |
Bahan-bahan | Pasta tomat, tepung pengental, gula, garam, dan bumbu |
Tahapan proses | Penerimaan, thawing (ikan beku), pengguntingan, pencucian, pengisian dalam kaleng, pengukusan, penirisan, pengisian media (saus), penutupan, sterilisasi, pendinginan, pengelapan, inkubasi, pelabelan/pengkodean, pengepakan, penyimpanan, dan pengiriman |
Pengemasan | Tin plate ukuran 202 x 308, 300 x 407, dan oval can 18 x 11 x 3,5 |
Penyimpanan | Suhu ruang |
Umur simpan | 2 tahun |
Spesifikasi label | Nama produk, merk, berat bersih, bobot tuntas, komposisi bahan, kode produksi, bar code, nomer MD, nama produsen, dan alamat |
Penggunaan | Siap makan |
Pengguna produk | Konsumsi umum |
Sumber : BFPI, 2015
3. Identifikasi Penggunaan Produk
Lemuru dalam kaleng merupakan produk siap makan yang ditunjukkan untuk kalangan umum. Konsumen umum tidak dibatasi umur dapat mengkonsumsi produk ini. Namun sebelum dimakan, sarden dianjurkan dimasak (dipanaskan) terlebih dahulu untuk mengoptimalkan rasa saat penyajian.
4. Penyusunan Diagram Alir
Tahap penyusunan diagram alir menunjukkan proses pengolahan produk mulai dari bahan baku hingga menjadi produk jadi yang dibuat secara runtut dalam satu diagram. Hal ini bertujuan untuk memudahkan identifikasi potensi bahaya yang dapat timbul pada tiap tahapan proses pengolahan. Diagram alir proses pengalengan lemuru dapat dilihat di Gambar 1.
Gambar 1. Diagram alir proses pengalengan lemuru
Sumber : BFPI, 2015
5. Verifikasi Diagram Alir
Tahapan pemeriksaan diagram alir proses bertujuan untuk meyakinkan dan memeriksa kembali tiap tahapan proses yang dilakukan di lapangan. Hal ini bermanfaat meminimalkan kesalahan yang terjadi pada tiap tahapan proses, dan berpotensi tidak menghasilkan sistem HACCP yang sesuai. PT. BFPI menyusun diagram alir proses produksi secara detail dan sesuai dengan yang dilakukan di lapangan.
6. Analisis Bahaya (Hazard Analysis)
Analisis bahaya digunakan untuk mengidentifikasi potensi bahaya yang berhubungan dengan produksi pangan di setiap tahapan. Prinsip pertama yang diterapkan oleh PT. BFPI adalah analisis bahaya dengan identifikasi potensi bahaya yang mungkin timbul pada proses produksi. Bahaya yang berpotensi menyebabkan ketidakamanan makanan untuk dikonsumsi adalah bahaya biologis, kimia, dan fisik.
a. Bahaya Biologis
Bahaya biologis seperti binatang dan mikroorganisme patogen dapat bersumber pada kontaminasi yang disebabkan oleh air, karyawan dan peralatan yang digunakan selama proses produksi. Bahaya biologis yang banyak ditemukan di pengalengan adalah tumbuhnya bakteri anaerob terutama Clostridium botulinum. C. botulinum merupakan mikroorganisme yang dapat menghasilkan toksin botulism di dalam makanan. Mikroorganisme ini memiliki bentuk seperti batang dan membentuk spora. Clostridium botulinum merupakan bakteri anaerob. Bakteri ini memproduksi exotoxin yang mematikan dan diketahui dengan neuro-paralytic toxin (Lopez, 1981). Bakteri E. coli, Salmonella, Staphylococcus aureus dapat mengkontaminasi pada proses pengalengan dikarenakan penerapan GMP dan SSOP yang kurang baik sehingga bakteri tersebut dapat tumbuh. Penerapan GMP dan SSOP yang baik akan mencegah timbulnya bahaya biogis.
Tabel 9. Potensi bahaya biologis pada pengalengan lemuru di PT. BFPI
Jenis bahaya | Penyebab | Dampak |
Bakteri E. coli | Kontaminasi dari perairan | Infeksi saluran pencernaan, diare kronis (Suardana, 2007) |
Bakteri Salmonella | Kontaminasi dari perairan | Penyakit tifus, paratifus, foodborne |
Bakteri Staphylococcus aureus | Suhu media kurang dari 70 o C | Radang selaput lendir, lambung, dan usus kecil (Fardiaz, 1998) |
Bakteri C. botulinum | Proses sterilisasi di bawa standar | Penghasil exotoxin yang mematikan dan neuro-paralytic toxin menyerang saraf (Lopez, 1981) |
Sumber : BFPI, 2015
b. Bahaya Kimia
Bahaya kimia merupakan bahaya yang ditimbulkan oleh tercemarnya kondisi perairan tangkap yang menyebabkan ikan mengandung bahan zat-zat kimia atau logam berbahaya. Kontaminasi kimia juga dapat terjadi karena penggunaan detergen yang digunakan untuk mesin dan kontaminasi bahan bakar. Bahaya kimia di PT. BFPI yang menjadi bahaya utama adalah kandungan formalin pada lemuru yang biasanya digunakan oleh supplier untuk mengawetkan ikan.
Tabel 10. Potensi bahaya kimia pada pengalengan lemuru di PT. BFPI
Jenis bahaya | Penyebab | Dampak |
Formalin | Pemakaian bahan pengawet yang tidak benar | Iritasi lambung, alergi, karsinogenik, dan mutagenik |
Logam berat | Kontaminasi dari area penangkapan | Keracunan dan karsinogenik pada kadar yang melebihi batas (Gayatri, 1994) |
Sumber : BFPI, 2015
Bahaya kimia pada umumnya disebabkan oleh penangan dari supplier yang tidak baik. Formalin merupakan bahan pengawet yang tidak diperbolehkan untuk mengawetkan ikan karena bersifat karsinogenik pada tubuh. Logam berat pada ikan disebabkan karena perairan asal bahan baku diperoleh telah tercemar oleh logam berat sehingga ikan akan terkontaminasi.
c. Bahaya Fisik
Bahaya fisik sering terjadi berasal dari supplier bahan baku dalam penangkapan dan penanganan suhu pada rantai dingin dari awal penerimaan bahan baku sampai akhir proses penyimpanan produk. Bahaya fisik juga dapat berasal dari proses pengalengan berupa kotoran atau benda asing yang kemungkinan berasal dari proses pengalengan akibat kurangnya penerapan GMP dan SSOP pengalengan. Potensi bahaya fisik yang dapat timbul pada pengalengan lemuru dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Potensi bahaya fisik pada pengalengan lemuru di PT.BFPI
Jenis bahaya | Penyebab | Dampak |
Plastik, jaring, kayu, pasir, dan sekam | Penanganan yang salah dari supplier | komplain konsumen |
Sisik lemuru | Pencucian yang kurang bersih | Komplain konsumen |
Kaleng pesok | Proses penutupan kaleng yang kurang sempurna | Tumbuhnya bakteri aerob |
Sumber : BFPI, 2015
Bahaya fisik dapat disebabkan karena penanganan oleh supplier yang kurang baik sehingga terdapat benda asing pada bahan baku. Selain itu penerapan GMP dan SSOP yang kurang baik juga dapat menyebabkan bahaya fisik yang akan menurunkan mutu produk. Secara umum bahaya fisik tidak akan terjadi jika penerapan GMP dan SSOP sudah baik.
`Analisis bahaya produk penanganan ikan lemuru PT. BFPI dilakukan pada semua tahapan dari awal penerimaan bahan sampai produk akhir. Namun, dalam analisis bahaya hanya menjelasakan tiga proses yang memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap potensi timbulnya bahaya yaitu proses seaming(penutupan) dan retorting(sterilisasi). Proses seamingmerupakan proses penutupan kaleng untuk mencegah kontaminasi dari lingkungan luar. Proses seaming yang tidak sempurna akan menyebabkan kebocoran kaleng sehingga bahan yang dikalengkan akan terkontaminasi oleh bakteri dari luar. Berkembangnya bakteri akibat kebocoran kaleng akan berbahaya bagi konsumen terutama bakteri patogen serta oksidasi akan menyebababkan ketengikan pada makanan. Proses retorting bertujuan untuk membunuh semua mikroorganisme dalam produk kaleng terutama bakteri pembusuk dan patogen. Proses retorting yang kurang sempurna akan menyebabkan bakteri berkembang biak dalam kaleng terutama C. botulinum yang merupakan bakteri patogen penghasil exotoxin yang mematikan dan diketahui dengan neuro-paralytic toxin (Lopez, 1981). Selain ketiga proses produksi tersebut, tidak memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kemungkinan timbulnya bahaya pada pengalengan lemuru. Semua analisis bahaya yang telah ditentukan akan dibahas dalam HACCP plan dan PRP karena proses produksi memliki peluang timbulnya bahaya keamanan produk yang dihasilkan. Jenis bahaya yang dapat timbul pada proses pengalengan lemuru dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Jenis bahaya pada proses pengalengan lemuru di PT. BFPI
Proses | Jenis bahaya |
Seaming | Kebocoran kaleng, tumbuhnya bakteri pembusuk dan pathogen, terjadi oksidasi, kerusakan kaleng |
Retorting | Tumbuhnya bakteri pembusuk dan patogen anaerob |
Sumber : BFPI, 2015
7. Identifikasi Titik Kendali Kritis (Critical Control Point)
Critical control point (CCP) atau titik kendali kritis diartikan sebagai suatu titik, prosedur diamana pengendalian dapat diterapkan dan bahaya keamanan pangan dapat dicegah, dihilangkan, atau diturunkan sampai ke batas yang aman atau dapat diterima. Setiap bahaya yang telah diidentifikasi dalam proses sebelumnya, maka dapat ditentukan satu atau beberapa CCP dimana suatu bahaya dapat dikendalikan. Ada pula kemungkinan bahwa bahaya yang diidentifikasi pada suatu tahapan bukan merupakan CCP, namun hanya CP (Control Point)yaitu tahapan yang perlu diawasi untuk menghasilkan produk yang bermutu, tetapi bukan untuk mengeliminasi kemungkinan terjadinya bahaya (Yoseph, 2009). Proses produksi yang merupakan CP contohnya proses thawing, trimming, filling, precooking, dan packing.
Proses thawing yang dilakukan selam 6 jam hingga suhu ikan mencapai 0-1 oC. Jika penangan pada proses thawing kurang baik maka menyebabkan ikan mengalami kerusakan fisik pada lemuru sehinga aka meurunkan mutu lemuru yang akan dikalengkan. Proses trimmingdilakukan secara manual dengan pisau atau gunting, jika pemotongan kepala dan ekor terlalu banyak aka mengurangi rendemen dari ikan. Proses filling dilakukan manual dengan memasukkan ikan langsung ke dalam kaleng. Pengisian dalam kaleng harus sesuai standar agar berat bersih dari produk akhir sesuai standar. Standar pengisian ikan dalam kaleng ukuran 155 gr adalah 100-110 gr dan kaleng ukuran 425 gr adalah 275-285 gr. Proses preecokingbertujuan untuk mengurangi kadar air dan minyak pada lemuru. Precooking dilakukan dengan suhu minimal 70 oC pada suhu pusatnya. Packingpada produk akhir dilakukan untuk mengemas produk ke dalam kemasan sekunder. Proses packing yang kurang hati-hati akan meyebabkan kerusakan fisik pada kaleng sehingga produk tidak layak dijual. Kerusakan kaleng akibat penanganan kurang baik akan menyebabkan kaleng pesok atau berkarat.
Secara keseluruhan, proses produksi PT. BFPI berjalan dengan baik, tetapi diperlukan penetapan titik kendali kritis yang mungkin timbul selama proses produksi berlangsung. Identifikasi CCP menentukan titik atau tahap prosedur operasional yang dapat dikendalikan untuk menghilangkan atau mengurangi kemungkinan bahaya. Identifikasi CCP pada proses pengalengan lemuru dapat dilihat pada Tabel 8. Pada tahap identifikasi CCP ini dilakukan pada proses pengalengan adalah seaming dan retorting.
Penentuan CCP dapat dilakukan dengan menggunakan alat bantu berupa pohon keputusan untuk mengetahui bahwa proses merupakan CCP atau bukan. Pohon keputusan terdapat keputusan ya atau tidak mengenai jawaban atas pertanyaan untuk identifikasi CCP atau tidak. CCP ditetapkan berdasarkan pohon keputusan dalam identifikasi CCP pengalengan lemuru di PT. BFPI sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
Tabel 13. Pohon keputusan identifikasi CCP pengalengan lemuru di PT. BFPI
Proses | Bahaya | Pohon Keputusan | ||||
P1 | P2 | P3 | P4 | CCP / Not CCP | ||
Seaming (penutupan) | Biologis Perkembangan bakteri anaerob | Y | N | Y | N | CCP |
Retorting (sterilisasi) | Biologis Perkembangan bakteri Clostridium botulinum | Y | N | Y | N | CCP |
Sumber : BFPI, 2015
Keterangan :
P1 : Apakah ada tindakan pencegahan?
P2 : Apakah langkah itu dibuat khusus unutuk mengendalikan bahaya?
P3 : Dapatkah bahaya terjadi?
P4: Apakah langkah selanjutnya dapat mengendalikan bahaya?
Y : Pernyataan “ya” dalam CCP
N : Pernyataan “tidak” dalam CCP
8. Penetapan Batas kritis dalam setiap CCP
Penetapan batas kritis bertujuan unutk memisahkan kriteria batas bahaya yang dapat diterima dari yang tidak dapat diterima. Prinsip pertama dan kedua hanya tiga proses yang diidentifikasi terjadi penyimpangan yang dapat menimbulkan bahaya. Penetapan batas krtis ini mengarah pada ketiga proses yang merupakan CCP yaitu seaming dan retorting. Batas kritis tersebut akan memberikan standar tingkat keamanan dari suatu prosuk, jika tingkat batas kritis sesuai standar maka munculnya suatu bahaya dapat dicegah. Batas kritis pengalengan ikan lemuru dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 14. Penetapan batas kritis produk pengalengan lemuru
CCP | Penetapan batas kritis | ||
Seaming | OL untuk kaleng 155 gr : 0,89 OL untuk kaleng 425 gr : 1,00 CH, BH : seimbang (untuk kaleng kecil CH = 1,65-2,05, BH : 1,80-2,25), (untuk kaleng besar CH: 1,65-2,05, BH= 1,80-1,30) | ||
Retorting (sterilisasi) | Temperatur: 117– 119o C Time : - Kaleng 155 gr : 80 min Kaleng 425 gr : 100 min Tekanan : 1 atm | ||
Sumber : BFPI, 2015
Penetapan batas kritis setiap CCP dilakukan berdasarkan batas aman dalam setiap prosesnya agar tidak terjadi kegagalan proses. Batas kritis dalam proses seaming adalah nilai Overlap minimal 0.89 mm untuk kaleng ukuran 155 gr dan 1.00 mm untuk kaleng ukuran 425 gr. Overlap (OL) merupakan selisih antara lebar lingkar bagian dalam bagian atas (Body Hook (BH)) dan lebar lingkar bagian luar bagian atas double seam (Cover Hook (CH)). Nilai OL diperoleh dengan menjumlahkan CH dan BH dan dikurangi dengan jarak dari atas ke bawah double seam (Width (W)) dan ketebalan pinggir kaleng (Tightness (T)) (CH + BH – W+T). Batas kritis yang telah ditetapkan dalam proses seaming dapat mengendalikan bahaya karena dengan batas masing-masing sifat fisik kaleng saat penutupan dapat diketahui proses seaming yang dilakukan sudah baik. Proses seaming yang baik hanya dapat dijamin bila tingkat kerapatan dan overlap berada dalam batas-batas yang diijinkan. Ukuran-ukuran dalam settingmesin dipakai sebagai pedoman, sedang dalam keadaan biasa perlu diperhatikan juga pengaruh dari bahan (Anonim, 1987).
Batas kritis pada proses retorting meliputi suhu, waktu, dan tekanan. Batas kritis untuk suhu yaitu 117– 119 oC, tekanan 1 atm, dan waktu 80 menit untuk kaleng ukuran 155 gr dan 100 menit untuk kaleng ukuran 425 gr. Dalam industri produk pangan dalam kaleng, proses sterilisasi difokuskan untuk mencegah pertumbuhan bakteri Clostridium botulinum. C. botulinummerupakan bakteri yang tahan terhadap temperatur yang sangat tinggi. Proses sterilisasi diyakini dengan membunuh bakteri C. botulinum ini dapat membunuh semua mikroorganisme lain yang menghasilkan racun dalam kondisi normal (Lopez, 1981). Proses retorting apabila tidak di luar batas kritis maka dapat dinyatakan berjalan dengan baik dan telah disessuaikan dengan jenis, ukuran, dan media dalam kaleng. Pada setiap sterilisasi harus dilakukan pencatatan suhu secara periodik.
9. Sistem Pengawasan CCP
Prinsip yang berikutnya adalah menetapkan sistem pengawasan setiap CCP dengan cara pengujian atau pengamatan. Batas kritis yang telah ditetapkan sebagai titik kendali selalu dipantau dan selalu diawasi pelaksanaanya. Pengawasan batas kritis tersebut dapat dilakukan dengan cara penguian dan dengan pengamatan visual, sensorik, kimia, dan mikrobiologi. Pengawasan yang dilakukan oleh PT. BFPI lebih mengarah kepada pengamatan visual, sensorik, serta fisik. Menurut Thaheer (2005), komponen pemantauan batas krtitis meliputi kaidah 1H + 4W yaitu:
a. How : Bagaimana cara memonitoringnya, hanya pengecekan atau pengukuran ?
b. What : Apa yang akan dipantau ?
c. Where : Dimana titik, tahap atau prosedur yang aka dipantau ?
d. Who : Siapa yang akan melakukan pemantauan ?
e. When : kapan akan dilakukan pemantauan dan frekuensinya ?
PT. BFPI sudah menerapkan pemantauan dengan kaidah 1H + 4W. Setiap proses dilakukan pengawasan setiap komponen dari apa yang akan diawasi, dimana pengawasan dilaksanakan, kapan pengawasan dilaksanakan, bagaimana pengawasannya, serta siapa yang akan melaksanakannya sudah ditentukan oleh PT. BFPI dalam Quality Assurance work plan. Pengawasan CCP dapat dilihat pada Tabel 10.
CCP | What | Who | When | Where | How |
Seaming | Pengukuran OL dari CH, BH, W dan tebal tin plate | Can QC | Setiap seamer yang digunakan | Ruang produksi (area penutupan) | Uji tear down dengan lipatan BH, CH, W,dan T. Hitung OL dengan rumus : CH + BH – W + T |
Retorting | Pengecekan suhu waktu, dan tekanan | QC retort | Setiap siklus sterilisasi | Di unit retort | Lihat suhu yang terbaca di Termometer maupun chart recorder dan tekanan Dimanometer. Hitung waktu proses time up sampai steam off |
Tabel 15. Pengawasan setiap CCP di PT. BFPI
Sumber : BFPI, 2015
Pengawasan pada proses seamingdilakukan sebelum proses berjalan, biasanya dilakukan pada pagi hari oleh QC bagian kaleng sebelum mesin seamerdigunakan. Kaleng yang akan digunakan terlebih dahulu diperiksa keadaan fisiknya mulai dari mengukur lebar lingkar bagian dalam bagian atas (Body Hook (BH)), lebar lingkar bagian luar bagian atas double seam (Cover Hook (CH)), jarak dari atas ke bawah double seam (Width (W)), ketebalan pinggir kaleng (Tightness (T)), dan panjang overlap body hookdan cover hook (Overlap (OL)). Setelah diukur semua bagian kaleng selanjutnya W, T, dan OL (overlap) dapat dilakukan pengawasan atau pengontrolan pada mesin seamer, sehingga dapat mengurangi produk rejectdan penutupan produk tetap berada pada batas kontrol. Pada proses retorting pengawasan suhu, waktu, dan tekanan dilakukan sebelum proses retortingdilakukan. Sebelum mesin retort digunakan, pekerja bagian retorting memastikan sumber uap panas dari boiler serta mengatur tekanan yang masuk pada retort.
Pengawasan setiap CCP bertujuan untuk memastikan proses pengalengan sesuai dengan ketentuan sehingga tidak menimbulkan potensi bahaya dari kesalahan proses. Pengawasan seaming dilakukan dengan uji tear downuntuk mengetahui secara pasti besarnya cover hook, body hook dan panjang overlap. Penutupan kaleng yang baik hanya dapat dijamin bila tingkat kerapatan dan overlap berada dalam batas-batas yang diijinkan (Anonim, 1987). Nilai overlapyang ditetapkan di PT. BFPI untuk kaleng ukuran 155 gr minimal 0.89 mm dan untuk kaleng ukuran 425 gr minimal 1.00 mm. Pengawasan pada proses retorting dilakukan dengan mengecek suhu yang terbaca di termometer maupun chart recorder dan tekanan dimanometer. Pengecekan ini untuk memastikan suhu, tekanan, dan waktu dalam proses retortingtidak diluar batas kritis yang telah ditetapkan. Proses retorting menggunakan suhu 117-119 oC dengan tekanan 1 atm selama 80 menit untuk kaleng ukuran 155 gr dan 100 menit. Apabila kedua proses tidak diluar batas kritis yang telah ditetapkan maka dapat dinyatakan kedua proses tersebut berhasil dilakukan.
10. Tindakan Koreksi
Tindakan koreksi dilakukan untuk menetapkan penyimpangan yang terjadi dengan melakukan tindakan perbaikan yang dilaksanakan jika hasil pemantauan menunjukan bahwa CCP tertentu tidak terkendali. Tindakan koreksi PT. BFPI menggunakan metode koreksi langsung pada setiap proses yang memiliki potensi bahaya di luar batas CCP. Koreksi langsug merupakan tindakan untuk untuk menghilangkan suatu ketidaksesuaian yang terdeteksi selama proses dan mengendalikan sesuai dengan standar HACCP yang telah ditetapkan.
Ketidaksesuaian pada proses seamingseperti nilai OL dibawah standar, tindakan koreksi yang diterapkan PT. BFPI yaitu penyetingan ulang terhadap mesin seamer. Untuk produk yang menyimpang diberi tindakan IR (Investigation Report) yang merupakan tindakan penelusuran terhadap masalah yang terjadi dalam proses pengalengan. Tindakan koreksi lainnya dilakukan uji teardown terhadap produk akhir dan produk diinkubasi untuk menetukan status. Uji teardown bertujuan untuk mengetahui secara pasti besarnya cover hook, body hook dan panjang overlap. Penutupan kaleng yang baik hanya dapat dijamin bila tingkat kerapatan dan overlap berada dalam batas-batas yang diijinkan (Anonim, 1987).
Koreksi langsung pada proses retortingyaitu degan mengecek kondisi retort dan sumber uap panas jika terjadi penyimpangan selama retorting. Setelah proses retortingdilakukan inkubasi selama seminggu untuk mengetahui adanya kecacatan atau tidak terhadap produk kaleng. Setelah diinkubasi dapat diketahui produk yang mengalami penyimpangan karena dipegaruhi oleh beberapa faktor seperti kondisi ikan, saus, dan proses retort.
11. Verifikasi
Tahapan HACCP setelah tindakan koreksi adalah prosedur verifikasi. Verifikasi dilakukan untuk memastikan tindakan pengendalian telah dilaksanakan dengan benar. Penetepan prosedur verifikasi bertujuan untuk mengetahui tingkat pemenuhan terhadap prinsip HACCP. Proses verifikasi pada proses seaming dilakukan dengan pengecekan double seam saat mesin beroperasi dan setelah produk jadi. Verifikasi pada proses retort (sterilisasi) dilakukan dengan mengevaluasi organoleptik produk akhir setiap siklus dan evaluasi produk setelah inkubasi. Evaluasi organoleptik produk akhir dan inkubasi terdiri dari uji berat bersih, berat tuntas, vacuum, headspace, penampilan, odordan flavor, warna, kaleng (can), dan uji kimia meliputi kadar garam, kadar asam, padatan terlarut, pH, dan viskositas. Verifikasi pada proses inkubasi dilakukan dengan teardownpada setiap kode kaleng yang dilakukan oleh QC gudang.
12. Penyimpanan Pencatatan dan Dokumentasi
Penyimpanan terakhir dari HACCP merupakan pemyimpanan catatan dan dokumentasi. Tahap ini dilakukan dengan menetapkan penyimpanan catatan dan dokumen mengenai semua prosedur dan pencatatan yang tepat untuk prinsip-prinsip HACCP dan penerapannya. Dokumentasi pada proses seaming berupa laporan pemeriksaan double seam. Dokumentasi pada proses retort (sterilisasi) berupa daily report, verifikasi proses retort, daily production dan retort report.Pada proses inkubasi, verifikasi yang dilakukan serupa dengan verifikasi seaming. Verifikasinya berupa laporan pemeriksaan double seam.
VI. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penerapan Hazard Analysis Critical Control Pointdi PT. Blambangan FoodPackers Indonesia dengan melaksanakan Good Manufacturing Practice (GMP) dan Standart Sanitation of Opersional Procedures (SSOP) di setiap proses pengalengan sebagai kelayakan dasar penerapan HACCP. Penerapan HACCP di PT. BFPI meliputi pembentukan Tim HACCP, deskripsi produk, identifikasi pengguna produk, pembuatan diagram alir proses, verifikasi diagram alir, analisis potensi bahaya, identifikasi CCP tiap proses, menetukan batas kritis setiap CCP, menetapkan prosesdur pemantauan, menetapkan tidakan koreksi, melakukan prosedur verifikasi, dan pencatatan dan dokumentasi. Pengawasan oleh Quality Control di setiap proses, mulai penerimaan bahan baku, trimming, pencucian, filling, precooking, pengisian media, pembentukan headspace, seaming, retorting, dan packing. Setiap proses dilakukan pengecekan dan pengawasan oleh Quality Control. Critical Control Point pengalengan lemuru di PT. BFPI adalah seaming dan retorting.
2. Permasalahan di PT. BFPI adalah penerapan Good Manufacturing Practice (GMP) dan Standart Sanitation of Opersional Procedures (SSOP) di setiap proses pengalengan agar produk dapat memenuhi standar yang telah ditetapkan. Penyelesaian dari masalah ini adalah melakukan pengawasan dan pengecekan berkala di setiap proses serta melakukan pelatihan tenaga kerja dalam penerapan GMP dan SSOP tersebut.
B. Saran
Memperbaiki penerapan GMP dan SSOP proses produksi dan melakukan koreksi pada layout produksi untuk menghindari kontaminasi silang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1987. Panduan Double Seaming. United Can Company. Jembatan Lima 11, Jakarta.
Blambangan FoodPackers Indonesia, 2015. HACCP Manual For Canned Fish. PT. Blambangan FoodPackers Indonesia. Banyuwangi.
Badan Standarisasi Nasional, 1994. Sarden Media Saus Tomat Dalam Kaleng. Badan Standarisasi Nasional Indonesia. Jakarta.
Badan Standarisasi Nasional. 2006. SNI 01-2729-2006 tentang Ikan Segar. Badan Standarisasi Nasional, Jakarta.
Herjanto, E. 2008. Manajemen Operasi. Grasindo, Jakarta.
Husni, A dan Putra, P. 2014. Pengendalian Mutu Hasil Perikanan. UGM Press, Yogyakarta.
Kusnandar F, Hariyadi P, Wulandari N. 2006. Modul Kuliah Prinsip Teknik Pangan. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lopez A. 1981. Complete Course in Canning, Basic Information Canning. Buku 1. The Canning Trade, Inc., Baltimore.
Muchtadi D. 1994. Makanan Kaleng : Teknologi dan Pengawasan Mutu. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Thaheer, H. 2005. Sistem Manajemen HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point). Bumi Aksara, Jakarta.
Winarno, F.G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz, 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yoseph, H. T. 2009. Pembaharuan Sistem Manajemen Mutu Berdasarkan ISO 9002:1994 Menjadi Sistem Manajemen Keamanan Pangan berdasar 22000: 2005 di PT.XYZ. Jurnal Organisasi dan Manajemen. 23 (2): 1-32.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Diagram Proses Pengalengan Lemuru di PT. BFPI.
Lampiran 2. Denah Lokasi PT. BFPI
Lampiran 3. Lay Out Pabrik dan Ruang Proses PT. BFPI
Lampiran 4. Sertifikat HACCP PT. BFPI
Lampiran 5. Aliran Proses Produksi PT. BFPI
Lampiran 6. Laporan Pemeriksaan Bahan Baku Lemuru di PT. BFPI
Lampiran 7. Lembar Pengecekan Berat Bersih Produk Jadi di PT. BFPI
Lampiran 8. Lembar Inspeksi Visual Penutupan Kaleng di PT. BFPI
Lampiran 10. Lembar Pengecekan Pengisisan Dalam Kaleng di PT. BFPI
Lampiran 11. Laporan Harian Pengawasan Mutu di PT. BFPI
Lampiran 9. Laporan Harian Proses Sterilisasi di PT. BPFI